Politik itu; akhirnya saya simpulkan sebagai keberanian dalam berhitung (Anda tidak harus percaya dan sependapat dengan saya).
Anda percaya kalau pekan-pekan ini banyak caleg yang tiba-tiba terserang penyakit susah tidur? Tiap waktu hanya memikirkan bagaimana agar nama mereka nantinya dicontreng pada tanggal 9 April? Mereka yang baru terjun ke dalam dunia politik (baca: caleg), ketegangan menjelang hari H ini semakin mendebarkan, hingga ke tulang-tulang dan menyita banyak waktu mereka. Sedangkan mereka yang telah lama centang perenang di kancah perpolitikan, ketegangan itu pasti juga dirasakan, hanya saja mereka sudah lebih bisa bagaimana menikmati debaran-debaran itu hingga terasa asyik-mengasyikan. Semakin tegang, semakin asyik.
Maka ada yang mengatakan, justru ketegangan di dalam politik – yang sebagian beranggapan kotor, dan karena itu puisi membersihkannya (begitu kata John F. Kennedy)— di situlah letak seninya. Bila politik tidak tegang, maka tidak asyik. Sebab itu, banyak mereka yang gagal dalam pencalonan pada pemilu (juga pilkada) lalu, kini tampil lagi mencalonkan diri sebagai caleg, kepala daerah, atau kepala negara. Boleh jadi, mereka yang gagal dan maju lagi ini semacam ada “rindu dendam” untuk meraih cita-cita yang sebelumnya tidak kesampaian. Sementara mereka yang bertahan dan kemudian mencalonkan diri lagi, adalah untuk kembali merasakan ketegangan, debaran, dan keasyikan, bagaimana agar kedudukan yang telah diraih tetap dapat dipertahankan.
Tentu saja, tidak semua bisa menikmati ketegangan politik itu hingga terasa asyik. Karena itu, seperti diberitakan Radar Banjarmasin edisi Selasa (24/3), di Medan sampai disiapkan puluhan dokter jiwa yang khusus untuk menangani para caleg — karena dikhawatirkan caleg yang tidak tahan dengan tegangan politik, tidak terpilih, lantas mengalami tekanan jiwa. Bahkan, sebagian caleg di Medan itu sudah ada yang memanfaatkan dokter jiwa untuk berkonsultasi.
Kita tahu, tenaga yang dikerahkan dan “ongkos politik” yang dikeluarkan para caleg sungguh tidaklah sedikit. Ongkos itu mulai dari yang kecil seperti pembuatan kartu nama lengkap dengan nomor urut, lambang partai, hingga pembuatan kalender, banner, baliho, serta ongkos untuk penyebaran dan pemasangan gambar-gambar itu dari rumah ke rumah, orang per orang, hingga pinggir-pinggir jalan. Ongkos itu belum lagi termasuk bila beriklan di surat kabar atau bahkan televisi. Asal tahu saja, iklan di koran itu tidaklah murah. Sebagai contoh, iklan caleg ukuran (kecil) dua kolom kali sekian milimeter, ongkosnya sekian juta untuk pemasangan satu bulan. Belum lagi bila iklan itu dalam ukuran besar, maka ongkosnya berlipat lagi. Atau, bila iklan itu dipasang di halaman strategis (halaman yang paling mudah tertangkap mata), maka harganya akan berlipat-lipat lagi.
Nah, dengan mahalnya “ongkos politik” yang dikeluarkan itu, lalu mengapakah masih banyak mereka (caleg) yang begitu semangat? Oke, kita ambil saja salah satu motivasinya adalah karena panggilan hati nurani (sorry, kebetulan saja kata-katanya sama dengan salah satu nama partai. Atau, kita ganti saja dengan panggilan jiwa) untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya – meski memang pasti tetap ada motivasi lain, sebut saja untuk ibadah; begitu bunyi sebagian banner caleg.
Namun kita juga tahu, sebagian masyarakat ada juga yang memandang pesimistis terhadap caleg-caleg. Ini barangkali wajar, mungkin lantaran cukup banyak caleg (juga kepala daerah) yang korupsi lantas dipenjara. Tapi, sesungguhnya kita tetap memerlukan mereka (caleg dan calon kepala daerah atau bahkan negara ini). Sebab bila tidak ada mereka, bisa-bisa gedung dewan kosong, dan daerah atau negara tidak akan ada yang memimpin. Jadi, mereka itu sebenarnya adalah orang-orang yang berani; berani mencalonkan diri, berani (baca: pede) gambarnya dipasang besar-besaran di pinggir jalan walau dengan risiko menjadi korban vandalisme, berani habis-habisan (dana) meski jika tidak terpilih barangkali akan tekor dan jatuh miskin.
Dan akhirnya, mereka juga adalah orang-orang yang berani dalam berhitung. Mereka, terutama saat-saat sekarang ini, akan terus menghitung – dan sebab itu bisa saja tiba-tiba terserang penyakit susah tidur. Mereka menghitung berapa besar dana yang telah dikeluarkan, menghitung berapa suara yang paling mungkin sudah masuk kantong (ini biasanya dihitung dari suara-suara keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang yang dikenal), dan menghitung berapa gaji yang akan diterima bila nanti terpilih — dan berapa lama bisa balik “modal”. Menghitung, terus menghitung…
Jadi, selamat berhitung.[]
: Edisi koran terbit di halaman cakrawala Radar Banjarmasin, Minggu 29 Maret 2009
POLos berbelIT penuh TrIK (POLITRIK) duh plesetannya jauh
politik… tak begitu paham tuh…:D
politik sekarang ini tak ubahnya seperti dunia dagang maka tak heran banyak pengusaha yang tak mengerti politik ikut bertarung demi semata-mata mencari keuntungan. Semoga ada beberapa Caleg yang nantinya menjadi Angleg sadar dengan apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil kita. Amien
salah satu bagian menariknya memang bagian berhitung ini, kalkulasi yg disesuaikan dengan tingkat ekspektasi.
yg konyol adalah caleg yang sudah habis²an dan mati²an tapi tanpa perhitungan. kelompok ini yg berpotensi memanfaatkan jasa para dokter dan perawat yg khusus disediakan beberapa rumah sakit di Indonesia.
@soul;
politrik = politik intrik
@didoy
sttt… yg nyaleg aja barangkali ada yang tak paham.
@syamsul
politik dagang = untung-untungan
@pakacil
yang tak pandai berhitung, siap-siap “buntung”.
Politik…ngga ada yang pasti, hari ini lawan besok teman, hari ini teman besok bisa jadi lawan. Politik terlalu banyak trik ..!
mereka pake hukum ekonomi juga ya ternyata…
Ada caleg yang hanya ikut kambing tumbur, tidak perlu berhitung dan santai saja, politik hanya sebatas pencalonan, sedangkan ke depannya urusan nanti.
Yang mungkin mengalami gangguan kejiwaan dan stress berat, caleg yang dalam pencalonannya sangat mengandalkan nomor urut, yang berharap limpahan suara dari nomor urut di bawahnya, sedangkan saat ini yang berlaku suara terbanyak.
Kalau saya susah tidur bukan karena takut kalah pemilihan. Emang dari sononya hobi begadang. *ngelirik bang rhoma* begadang jangan begadang.
nyaman mencucuk jua pang drpd mencontreng, kd berasa
Saya selalu bertanya, politik itu apa sih … susah memahaminya he he
kalo dbilang percaya ya tdk spenuhnya, tp saya juga setuju..
klo dhitung2.. berapa dana yang mereka kluarkan buat pemilu?.. knp hrs sebanyak itu?..
memang’na tdk bs dialokasikan buat kperluan lain yg lebih bermanfaat….
berhitung itu harus wal ai. mun kada luput, tambah ai mengeramput, lalu semaput…. (kada jelas)hehe
@aap
salah satu ilmu politik itu adalah, rekrut sebanyak-banyaknya kawan, dan libas habis musuh-musuh. satu musuh dalam politik, itu sudah terlalu banyak. (entah teori siapa ini ya, hehe…)
@rezaldi
hukum “ekonomi bisnis” kali ya, haha…
@HEBenyamine
kambing tumbur ini untung-untungan..
@syafwan
konon, lagu “begadang” bang rhoma itu tercipta ketika ia dalam waktu lama terserang penyakit susah tidur lantaran membuat lagu-lagu — atau terlalu sering dengar lagu deep purple (idolanya rhoma)
@ikhsan
nah.. am, takuni babinian haja, hehe…
@ersis
memangnya dari sejibun buku di rumah nggak ada buku politik, bos? 🙂
@mycroft
justru itu, mereka merasa “kedudukan” lagi penting dan akan “bermanfaat” nantinya buat… (lanjutkan sendiri)
@hajri
ente termasuk tipe caleg seperti apa, wal? 🙂
nice writing!
Aku Contreng SANDI FIRLY
Merakyat
peduli
berani
Ayo teman-teman contreng Sandi Firly…!
ya jika mereka masuk yang jelas gaji anggota dewan hhmmmm yang menggiurkan sudah pasti bisa mengganti biaya kampanye 5 tahun gitu lho…
tapi buat yang ga kepilih ayoo booking tuh kamar-kamar RS hehehe
Itu letak persoalannya…
Ketika politik diperlakukan sama seperti matematika atau hitung dagang yang bisa dikuantifikasi dalam satuan numerik…
Maka yang tertinggal adalah wajah-wajah penuh ketegangan, kelelahan yang telah kehilangan energi kemanusiaannya…
Tabik… 🙂
Jujur nich,saya sama sekali ngga’ ada minat dibidang politik lohh…
Ngga’ minat tuh…
kapan ya negara ini maju ?
http://www.on-klinik.co.cc
ahhh masih rumit sastra ternyata…
dan lebih menyenangkan sastra tentunya…
politik sekarang adalah politik busuk. yang milih politik ini jadi juga ikutan busuk. maka dari itu pilih politik Islam yang sekarang dilupakan orang. Politik Islam gak bakalan ikut-ikutan dalam politik Busuk. busususususuk. demokrasi busuk.
negara ini akan maju kalau rakyatnya mau mendukung pemerintah, juga terus mengkritik kebijakan2nya yang tidak efektif dan efisien.
negeri ini akan terus membusuk kalau rakyatnya terus membusuk-busukkannya, dan jadi busuk, terus busuk… (bau apaan tuh? mulutmu, ya?)
Wal, kaya apa Rozan, wal ? kenapa kada ada buriniknya lagi? jangan-jangan pas terbit haja hanyar dihabari kekawanan ! jangan kaya itu, wal…! saurang kada tapi katuju nang surprise-surprise kaya itu !
milih apa hari ini?
kada dapat undangan…! Hiran jua pamarintah ni…
Saurang ni jadi oposisi aja…ekstrem tengah…
Amun Sandi pasti PKS, tak lain dan tak Bukan…
Amun hajri pasti lebih mendengarkan hati nurani, iya kalo, wal ?
yang penting pemilu aman… aman…
Aku malah pengen cepet-cepet dipindahkan ke desk bukanpolitik.